·
Hak Merek
Pengertian merek
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang
Merek, yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka-angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Dari rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa merek:
Dari rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa merek:
a. Tanda berupa gambar,
nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari nama,
kata, huruf-huruf, angka- angka, susunan warna tersebut;
b. Memiliki daya pembeda (distinctive) dengan merek lain yang sejenis;
b. Memiliki daya pembeda (distinctive) dengan merek lain yang sejenis;
c. Digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis.
2. Pengertian Hak Atas
Merek Dan Pemilik Merek
Hak cipta harus dapat
melindungi ekspresi dari suatu ide gagasan konsep, salah satu cara untuk
melindungi suatu hak cipta tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek, yaitu dengan melakukan pendaftaran hak atas merek.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya. Dalam
pendaftaran merek, pemiliknya mendapat hak atas merek yang dilindungi oleh
hukum.
Pemilik Merek merupakan pemohon yang telah disetujui permohonannya dalam melakukan pendaftaran merek secara tertulis kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, sebagaimana yang temuat dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek.
Pemilik Merek merupakan pemohon yang telah disetujui permohonannya dalam melakukan pendaftaran merek secara tertulis kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, sebagaimana yang temuat dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek.
B. Fungsi Dan Manfaat
Merek
Kebutuhan untuk melindungi produk yang dipasarkan dari berbagai tindakan melawan hukum pada akhirnya merupakan kebutuhan untuk melindungi merek tersebut. Merek merupakan suatu tanda yang dapat dicantumkan pada barang bersangkutan atau bungkusan dari barang tersebut, jika suatu barang hasil produksi suatu perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap sebagai tidak cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan merek.22
Fungsi utama merek (terjemahan umum dalam bahasa Inggrisnya adalah trademark, brand, atau logo) adalah untuk membedakan suatu produk barang atau jasa, atau pihak pembuat/penyedianya. Merek mengisyaratkan asal-usul suatu produk (barang/jasa) sekaligus pemiliknya. Hukum menyatakan merek sebagai property atau sesuatu yang menjadi milik eksklusif pihak tertentu, dan melarang semua orang lain untuk memanfaatkannya, kecuali atas izin pemilik.23 Dengan demikian, merek
Kebutuhan untuk melindungi produk yang dipasarkan dari berbagai tindakan melawan hukum pada akhirnya merupakan kebutuhan untuk melindungi merek tersebut. Merek merupakan suatu tanda yang dapat dicantumkan pada barang bersangkutan atau bungkusan dari barang tersebut, jika suatu barang hasil produksi suatu perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap sebagai tidak cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan merek.22
Fungsi utama merek (terjemahan umum dalam bahasa Inggrisnya adalah trademark, brand, atau logo) adalah untuk membedakan suatu produk barang atau jasa, atau pihak pembuat/penyedianya. Merek mengisyaratkan asal-usul suatu produk (barang/jasa) sekaligus pemiliknya. Hukum menyatakan merek sebagai property atau sesuatu yang menjadi milik eksklusif pihak tertentu, dan melarang semua orang lain untuk memanfaatkannya, kecuali atas izin pemilik.23 Dengan demikian, merek
22 Gautama, Sudargo,
Hukum Merek Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 34.
23 Munandar, Haris dan Sally Sitanggang, Mengenal HAKI, Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta,Paten, Merek, dan seluk-beluknya, Jakarta, Erlangga,esensi , 2009, hal.50
23 Munandar, Haris dan Sally Sitanggang, Mengenal HAKI, Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta,Paten, Merek, dan seluk-beluknya, Jakarta, Erlangga,esensi , 2009, hal.50
berfungsi juga sebagai
suatu tanda pengenal dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa yang sejenis.
Pada umumnya, suatu produk barang dan jasa tersebut dibuat oleh seseorang atau
badan hukum dengan diberi suatu tanda tertentu, yang berfungsi sebagai pembeda
dengan produk barang dan jasa lainnya yang sejenis. Tanda tertentu di sini
merupakan tanda pengenal bagi produk barang dan jasa yang bersangkutan, yang
lazimnya disebut dengan merek. Wujudnya dapat berupa suatu gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut.24
unsur-unsur tersebut.24
Merek juga dapat
berfungsi merangsang pertumbuhan industri dan perdagangan yang sehat dan
menguntungkan semua pihak. Diakui oleh Commercial Advisory Foundation in
Indonesia (CAFI) bahwa masalah paten dan trademark di Indonesia memegang peranan
yang penting di dalam ekonomi Indonesia, terutama berkenaan dengan
berkembangnya
usaha-usaha industri dalam rangka penanaman modal.25 Oleh karena itu,
usaha-usaha industri dalam rangka penanaman modal.25 Oleh karena itu,
merek bermanfaat dalam
memberikan jaminan nilai atau kualitas dari barang dan jasa yang bersangkutan.
Hal itu tersebut tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut,
tetapi juga memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen.
Selanjutnya, merek juga bermanfaat sebagai sarana promosi (means of trade
promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang
memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan. Di pasaran luar
24 Usman, Rachmadi, op.cit,
hal 320.
25 Putra, Ida Bagus Wyasa, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasionaldalam Transaksi Bisnis
Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, 2000, hal 23.
25 Putra, Ida Bagus Wyasa, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasionaldalam Transaksi Bisnis
Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, 2000, hal 23.
negeri, merek-merek
sering kali adalah satu-satunya cara untuk menciptakan dan mempertahankan
“goodwill” di mata konsumen. Merek tersebut adalah simbol dengan mana pihak
pedagang memperluas pasarannya di luar negeri dan juga mempertahankan pasaran
tersebut. Goodwill atas merek adalah sesuatu yang tidak ternilai dalam
memperluas pasaran.26
memperluas pasaran.26
Berdasarkan fungsi dan
manfaat inilah maka diperlukan perlindungan hukum terhadap produk Hak Merek,
ada 3 (tiga) hal yaitu:27
1. Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para penemu merek, pemilik merek, atau pemegang hak merek;
2. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas Hak atas Merek sehingga keadilan hukum dapat diberikan kepada pihak yang berhak;
3. Untuk memberi manfaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong untuk membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.
1. Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para penemu merek, pemilik merek, atau pemegang hak merek;
2. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas Hak atas Merek sehingga keadilan hukum dapat diberikan kepada pihak yang berhak;
3. Untuk memberi manfaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong untuk membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.
·
Undang – Undang Hak
Merek
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek : Merek adalah tanda yang
berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.(Pasal 1 Ayat 1)
·
Latar Belakang
Undang-Undang Perindustrian.
Sasaran
pokok yang hendak dicapai dalam pembangunan jangka panjang adalah tercapainya
keseimbangan antara pertanian dan industri serta perubahan-perubahan
fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia sehingga produksi nasional yang
berasal dari luar pertanian akan merupakan bagian yang semakin besar dan
industri menjadi tulang punggung ekonomi. Disamping itu pelaksanaan pembangunan
sekaligus harus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat
sesuai dengan rasa keadilan, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial sehingga
di satu pihak pembangunan itu tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan
produksi, melainkan sekaligus mencegah melebarnya jurang pemisah antara yang
kaya dan yang miskin.
Dengan
memperhatikan sasaran pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi tersebut,
maka pembangunan industri memiliki peranan yang sangat penting. Dengan arah dan
sasaran tersebut, pembangunan industri bukan saja berarti harus semakin
ditingkatkan dan pertumbuhannya dipercepat sehingga mampu mempercepat
terciptanya struktur ekonomi yang lebih seimbang, tetapi pelaksanaannya harus
pula makin mampu memperluas kesempatan kerja, meningkatkan rangkaian proses
produksi industri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga mengurangi
ketergantungan pada impor, dan meningkatkan ekspor hasil-hasil industri itu
sendiri. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, diperlukan perangkat hukum yang
secara jelas mampu melandasi upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan dalam
arti yang seluas-luasnya tatanan dan seluruh kegiatan industri. Dalam rangka
kebutuhan inilah Undang-Undang tentang Perindustrian ini disusun.Pemerintah
diarahkan untuk menciptakan iklim usaha industri secara sehat dan mantap. Dalam
hubungan ini, bidang usaha industri yang besar dan kuat membina serta
membimbing yang kecil dan lemah agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi kuat.
Dengan iklim usaha industri yang sehat seperti itu, diharapkan industri akan
dapat memberikan rangsangan yang besar dalam menciptakan lapangan kerja yang
luas.
UU No.5/1984
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
5 TAHUN 1984
TENTANG
PERINDUSTRIAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Mengingat :1. Pasal
5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2048);
3. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832);
4. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
5. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
6. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3215);
7. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3234).
BAB
I
KETENTUAN
UMUM.
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini
yang dimaksud dengan:
1. Perindustrian
adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri.
2. Industri adalah
kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi,
dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
3. Kelompok
industri adalah bagian-bagian utama kegiatan industri, yakni kelompok industri
hulu atau juga disebut kelompok industri dasar, kelompok industri hilir, dan
kelompok industri kecil.
4. Cabang industri
adalah bagian suatu kelompok industri yang mempunyai ciri umum yang sama dalam
proses produksi.
5. Jenis industri
adalah bagian suatu cabang industri yang mempunyai ciri khusus yang sama
dan/atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi.
6. Bidang usaha
industri adalah lapangan kegiatan yang bersangkutan dengan cabang industri atau
jenis industri.
7. Perusahaan
industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
8. Bahan mentah
adalah semua bahan yang didapat dari sumber daya alam dan/atau yang diperoleh
dari usaha manusia untuk dimanfaatkan lebih lanjut.
9. Bahan baku
industri adalah bahan mentah yang diolah atau tidak diolah yang dapat
dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam industri.
10. Barang
setengah jadi adalah bahan mentah atau bahan baku yang telah mengalami satu
atau beberapa tahap proses industri yang dapat diproses lebih lanjut menjadi
barang jadi.
11. Barang jadi
adalah barang hasil industri yang sudah siap pakai untuk konsumsi akhir ataupun
siap pakai sebagai alat produksi.
12. Teknologi
industri adalah cara proses pengolahan yang diterapkan dalam industri.
13. Teknologi yang
tepat guna adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk
menghasilkan nilai tambah.
14. Rancang bangun
industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan perencanaan pendirian
industri/pabrik secara keseturuhan atau bagian-bagiannya.
15. Perekayasaan
industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan perancangan dan
pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan industri lainnya.
16. Standar
industri adalah ketentuan-ketentuan terhadap hasil produksi industri yang di
satu segi menyangkut bentuk, ukuran, komposisi, mutu, dan lain-lain serta di
segi lain menyangkut cara mengolah, cara menggambar, cara menguji dan
lain-lain.
17. Standarisasi
industri adalah penyeragaman dan penerapan dari standar industri.
18. Tatanan
industri adalah tertib susunan dan pengaturan dalam arti seluas-luasnya bagi
industri.
BAB
II
LANDASAN
DAN TUJUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI.
Pasal
2
Pembangunan industri berlandaskan
demokrasi ekonomi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri,
manfaat, dan kelestarian hngkungan hidup.
Pasal
3
Pembangunan industri
bertujuan untuk:
1. Meningkatkan
kemakmuran dan keseiahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan
dana, sumber daya alam, dan/atau hasil budidaya serta dengan memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup;
2. Meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara bertahap, mengubah struktur perekonomian ke arah
yang lebih baik, maju, sehat, dan lebih seimbang sebagai upaya untuk mewujudkan
dasar yang lebih kuat dan lebih luas bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya,
serta memberikan nitai tambah bagi pertumbuhan industri pada khususnya;
3. Meningkatkan
kemampuan dan penguasaan serta mendorong terciptanya teknologi yang tepat guna
dan menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan dunia usaha nasional;
4. Meningkatkan
keikutsertaan masyarakat dan kemampuan golongan ekonomi lemah, termasuk
pengrajin agar berperan secara aktif dalam pembangunan industri;
5. Memperluas dan
memeratakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan
peranan koperasi industri;
6. Meningkatkan
penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor hasil produksi nasional yang
bermutu, disamping penghematan devisa melalui pengutamaan pemakaian hasil
produksi dalam negeri, guna mengurangi ketergantungan kepada luar negeri;
7. Mengembangkan
pusat-pusat pertumbuhan industri yang menunjang pembangunan daerah dalam rangka
pewujudan Wawasan Nusantara;
8. Menunjang dan
memperkuat stabilitas nasional yang dinamis dalam rangka memperkokoh ketahanan
nasional.
BAB
III
PEMBANGUNAN
INDUSTRI.
Pasal
4
(1) Cabang
industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
5.
(1) Pemerintah
menetapkan bidang usaha industri yang masuk dalam kelompok industri kecil,
termasuk industri yang menggunakan ketrampilan tradisional dan industri
penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik
Indonesia.
(2) Pemerintah
menetapkan jenis-jenis industri yang khusus dicadangkan bagi kegiatan industii
kecil yang dilakukan oleh masyarakat pengusaha dari golongan ekonomi lemah.
(3) Ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
6.
Pemerintah menetapkan
bidang usaha industri untuk penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun
modal asing.
BAB
IV
PENGATURAN,
PEMBINAAN, DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI.
Pasal
7.
Pemerintah melakukan
pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, untuk:
1. mewujudkan
perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna;
2. mengembangkan
persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur;
3. mencegah
pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam
bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Pasal
8.
Pemerintah melakukan
pengaturan, pembinaan, dan pengembangan bidang usaha industri secara seimbang,
terpadu, dan terarah untuk memperkokoh struktur industri nasional pada setiap
tahap perkembangan industri.
Pasal
9.
Pengaturan dan
pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan:
1. Penyebaran dan
pemerataan pembangunan industri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan
manusia dengan mempergunakan proses industri dan teknologi yang tepat guna
untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri;
2. Penciptaan iklim
yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur
antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat
dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau
perorangan.dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
3. Perlindungan yang
wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatan-kegiatan industri dan
perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada
umumnya serta kepentingan perkembangan industii dalam negeri pada khususnya;
4. Pencegahan
timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan
terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.
Pasal
10.
Pemerintah melakukan
pembinaan dan pengembangan bagi:
1. keterkaitan
antara bidang-bidang usaha industri untuk meningkatkan nilai tambah serta
sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional:
2. keterkaitan
antara bidang usaha industri dengan sektor-sektor bidang ekonomi lainnya yang
dapat meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebib besar bagi
pertumbuhan produksi nasional;
3. pertumbuhan
industri melalui prakarsa, peran serta, dan swadaya masyarakat.
Pasal
11
Pemerintah melakukan
pembinaan terhadap perusahaan-perusahaan industri dalam menyelenggarakan kerja
sama yang saling menguntungkan, dan mengusahakan peningkatan serta pengembangan
kerja sama tersebut.
Pasal
12.
Untuk mendorong
pengembangan cabang-cabang industri dan jenis-jenis industri tertentu di dalam
negeri, Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan/atau perlindungan yang
diperlukan.
BAB
V
IZIN
USAHA INDUSTRI.
Pasal
13.
(1) Setiap
pendirian perusahaan industri baru maupun setiap perluasannya wajib memperoleh
Izin Usaha Industri.
(2) Pemberian Izin
Usaha Industri terkait dengan pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri.
(3) Kewajiban
memperoleh Izin Usaha Industri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu
dalam kelompok industri kecil.
(4) Ketentuan
mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
14.
(1) Sesuai dengan
Izin Usaha Industri yang diperolehnya berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan
industri wajib menyampaikan infonnasi industri secara berkala mengenai kegiatan
dan hasil produksinya kepada Pemerintah.
(2) Kewajiban
untuk menyampaikan informasi industri dapat dikecualikan bagi jenis industri
tertentu dalam kelompok industri kecil.
(3) Ketentuan
tentang bentuk, isi, dan tata cara penyampaian informasi industri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
15.
(1) Sesuai dengan
Izin Usaha Industri yang diperolehnya berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan
industri wajib melaksanakan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan
alat, proses serta hasil produksinya termasuk pengangkutannya.
(2) Pemerintah
mengadakan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya
yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi
industri termasuk pengangkutannya.
(3) Pemerintah
melakukan pengawasan dan pengendalian yang menyangkut keamanan dan keselamatan
alat, proses serta hasil produksi industri termasuk pengangkutannya.
(4) Tata cara
penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
TEKNOLOGI
INDUSTRI, DESAIN PRODUK INDUSTRI, RANCANG BANGUN
DAN
PEREKAYASAAN INDUSTRI, DAN STANDARDISASI.
Pasal
16.
(1) Dalam
menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri
menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan
memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri.
(2) Apabila
perangkat teknologi industri yang diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup
tersedia di dalam negeri, Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi
industri dari luar negeri yang diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam
negeri.
(3) Pemilihan dan
pengalihan teknologi industri dari luar negeri yang bersifat strategis dan
diperlukan bagi pengembangan industri di dalam negeri, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah,
Pasal
17.
Desain produk industri
mendapat perlindungan hukum yang ketentuanketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
18.
Pemerintah mendorong
pengembangan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri.
Pasal
19.
Pemerintah menetapkan
standar untuk bahan baku dan barang hasil industri dengan tujuan untuk menjamin
mutu hasil industri serta untuk mencapai daya guna produksi.
BAB
VII
WILAYAH
INDUSTRI.
Pasal
20.
(1) Pemerintah
dapat menetapkan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri serta lokasi bagi
pembangunan industri sesuai dengan tujuannya dalam rangka pewujudan Wawasan
Nusantara.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB
VIII
INDUSTRI
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SUMBER DAYA ALAM
DAN
LINGKUNGAN HIDUP.
Pasal
21.
(1) Perusahaan
industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam
serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan Hidup
akibat kegiatan industri yang dilakukannya.
(2) Pemerintah
mengadakan pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai
pelaksanaan pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap
Ungkungan hidup akibat kegiatan industri.
(3) Kewajiban
melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi jenis
industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
BAB
IX
PENYERAHAN
KEWENANGAN DAN URUSAN TENTANG INDUSTRI.
Pasal
22.
Penyerahan kewenangan
tentang pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
23
Penyerahan urusan dan
penarikannya kembali mengenai bidang usaha industri tertentu dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang
nyata, dinamis, dan bertanggung jawab, ditakukan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
X
KETENTUAN
PIDANA.
Pasal
24
(1) Barang siapa
dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana
penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
25.000.000,- (dua puluh limajuta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan
Izin Usaha Industrinya.
(2) Barang siapa
karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana kurungan
selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,-
(satujuta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
Pasal
25.
Barang siapa dengan
sengaja tanpa hak melakukan peniruan desain produk industri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, dipidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000.000,(sepuluh juta rupiah).
Pasal
26.
Barang siapa dengan
sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan
hukuman tambahan dicabut izin Usaha Industrinya.
Pasal
27.
(1) Barang siapa
dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratus
juta rupiah).
(2) Barang siapa
karena kelalaiannya melakukan perbutan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu)
tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal
28.
(1) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27
ayat (1) adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 27 ayat (2) adalah
pelanggaran.
BAB
XI
KETENTUAN
PERALIHAN.
Pasal
29
Pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan perindustrian yang tidak hertentangan dengan Undang-Undang
ini tetap berlaku selama belum ditetapkan penggantinya berdasarkan
Undang-Undang ini.
BAB
XII.
KETENTUAN
PENUTUP.
Pasal
30
Pada saat mulai
berlakunya Undang-Undang ini, Bedrijfsreglementeeringsordonnantie 1934
(Staatsbiad 1934 Nomor 595) dinyatakan tidak berlaku lagi bagi industri.
Pasal
31.
Hal-hal yang belum
cukup diatur dalam Undang-Undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
32
Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
·
Konvensi
Internasional tentang Hak Cipta.
Pengertian
Konvensi
Konvensi adalah suatu perjanjian yang bersifat
multilateral. Ketentuan-ketentuannya berlaku bagi masyarakat internasional
secara keseluruhan. Misalnya, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 di
Montego-Jamaika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvensi diartikan
sebagai :
1. Permufakatan
atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi)
2. Perjanjian
antarnegara, para penguasa pemerintahan.
Konvensi bisa merupakan kumpulan norma yang diterima secara umum.
Konvensi juga adalah pertemuan sekelompok orang yang secara bersama-sama
bertukar pikiran, pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling
siap untuk mendengar dan didengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian
menyimpulkan topik-topik yang dibahas dalam pertemuan dimaksud. Konvensi merupakan
suatu kegiatan berupa pertemuan sekelompok orang (negarawan,usahawan,
cendekiawan, dan sebagainya) untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan
dengan kepentingan bersama. Secara umum konvensi merupakan suatu bentuk
kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum internasional sebuah
konvensi dapat berupa perjanjian internasional tertulis yang tunduk pada
ketentuan hukum kebiasaan internasional, yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah
konvensi internasional dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu
melalui proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
Konvensi
Hak Cipta Universal 1955
KONVENSI
HAK CIPTA UNIVERSAL 1955
Merupakan suatu hasil kerja PBB melalui sponsor
UNESCO untuk mengakomodasikan dua aliran falsafah berkaitan dengan hak cipta
yang berlaku di kalangan masyarakat inrernasional. Di satu pihak ada sebagian
angota masyarakat internasional yang menganut civil law system, berkelompok
keanggotaannya pada Konvensi Bern, dan di pihak lain ada sebagian anggota
masyarakat internasional yang menganut common law system berkelompok pada
Konvensi-Konvebsi Hak Cipta Regional yang terutama berlaku di negara-negara Amerika
Latin dan Amerika serikat.
Untuk menjembatani dua kelompok yang berbeda sistem
pengaturan tentang hak cipta ini, PBB melalai UNESCO menciptakan suatu kompromi
yang merupakan: “A new common dinamisator convention that was intended to
establist a minimum level of international copyright relations throughout the
world, without weakening or supplanting the Bern Convention”. Pada 6
September 1952 untuk memenuhi kepatuhan adanya suatu Common Dinaminator
Convention lahirlah Universal Copyright Convention (UCC) yang
ditandalangani di Jenewa kemudian ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi yang
diperlukan untuk berlakunya pada 16 September 1955. Ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan menurut Pasal 1 konvensi antara lain:
1.
Adequate and Effective Protection. Menurut Pasal I konvensi setiap
negara peserta perjanjian berkewajiban memberikan perlindungan hukum yang
memadai dan efektif terhadap hak-hak pencipta dan pemegang hak cipta.
2.
National Treatment. Pasal II menetapkan bahwa ciptaan-ciptaan yang diterbitkan
oleh warga negara dari salah satu negara peserta perjanjian dan ciptaan-ciptaan
yang diterbitkan pertama kali di salah satu negara peserta perjanjian, akan
meemperoleh perlakuan perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diberikan
kepada warga negaranya sendiri yang menerbitkan untuk pertama kali di negara
tempat dia menjadi warga negara.
3.
Formalities. Pasal III yang merupakan manifestasi kompromistis dari
UUC terhadap dua aliran falsafah yang ada, menetapkan bahwa suatu negara
peserta perjanjian yang menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya
syarat-syarat tertentu sebagai formalitas bagi timbulnya hak cipta, seperti
wajib simpan (deposit), pendaftaran (registration), akta notaries (notarial
certificates) atau bukti pembayaran royalti dari penerbit (payment of fee),
akan dianggap rnerupakan bukti timbulnya hak cipta, dengan syarat pada ciptaan
bersangkutan dibubuhkan tanda c dan di belakangnya tercantum nama pemegang hak
cipta kemudian disertai tahun penerbitan pertama kali.
4. Duration
of Protection. Pasal IV, suatu jangka waktu minimum sebagi ketentuan untuk
perlindungan hukum selama hidup pencipta ditambah paling sedikit 25 tahun
setelah kematian pencipta.
5.
Translations Rights. Pasal V, hak cipta mencakup juga hak eksklusif
pencipta untuk membuat, penerbitkan, dan memberi izin untuk menerbitkan suatu
terjemahan dari ciptaannya. Namun setelah tujuh tahun terlewatkan, tanpa adana
penerjemahan yang, dilakukan oleh pencipta, negara peserta konvensi dapat
memberikan hak penerjemahan kepada warga negaranya dengan memenuhi
syarat-syarat seperti ditetapkan konvensi.
6. Juridiction
of the international Court of Justice. Pasal XV, suatu sengketa yang timbul
antara dua atau lebih negara anggota konvensi mengenai penafsiran atau
pelaksanaan konvensi, yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan
mufakat. dapat diajukan ke muka Mahkamah lnternasional untuk dimintakan
penyelesaian sengketa yang diajukan kecuali jika pihak-pihak yang bersengketa
bersepakat untuk memakai cara lain.
7. Bern
safeguard Clause. Pasal XVII UCC beserta appendix merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dari pasal ini, merupakan salah satu sarana penting untuk
pemenuhau kebutuhan ini.
·
Berner
Convention.
Konvensi
berner merupakan sebuah perlindungan terhadap kesusastraan dan pekerjaan
artistic (karya seni). Biasa diketahui dengan konvensi bern. Konvensi tersebut
merupakan persetujuan internasional yang menyepakati mengenai hak cipta, dimana
pertama diterima di Berne, Switzerland pada tahun 1886
Konvensi
Bern membutuhkan penandatanganan untuk mengetahui permasalahan hak cipta dari
suatu pekerjaan milik pencipta dari Negara lain yang biasa diketahui sebagai
“Berne Union” dimana memiliki tujuan yang sama seperti hak cipta nasional.
Sebagai contoh, hokum hak cipta Perancis menyeluruh kepada semua yang telah di-publish atau
ditampilkan di Perancis, tanpa terkecuali dimana hal tersebut merupakan hasil
pembuatan original.
Disamping
untuk membangun system yang treatmentnya seimbang, hak cipta internasional
antara sesame penandatangan, persetejuan tetap membutuhkan kesatuan kelompok
untuk membuat standar minimum yang kuat dalam hak cipta internasional.
Hak
cipta dibawah Konvensi Bern pastio tomatis, dalam arti lain terlarang untuk
membutuhkan registrasi formal (dengan catatan apapun dan kapanpun United States
bergabung dengan konvensi di tahun 1988, mereka meneruskan untuk membuat
perlarangan undang-undang yang fatal dan biaya pengacarahanya memungkinkan pada
pekerja yang sudah diregistrasi).
Konvensi
Bern mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak cipta dari
karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut menandatanganinya
(yaitu negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern), seolah-olah mereka
adalah warga negaranya sendiri. Artinya, misalnya, undang-undang hak cipta
Prancis berlaku untuk segala sesuatu yang diterbitkan atau dipertunjukkan di
Prancis, tak peduli di mana benda atau barang itu pertama kali diciptakan.
Namun
demikian, sekadar memiliki persetujuan tentang perlakuan yang sama tidak akan
banyak gunanya apabila undang-undang hak cipta di negara-negara anggotanya
sangat berbeda satu dengan yang lainnya, kaernahal itu dapat membuat seluruh
perjanjian itu sia-sia. Apa gunanya persetujuan ini apabila buku dari seorang
pengarang di sebuah negara yang memiliki perlindungan yang baik diterbitkan di
sebuah negara yang perlindungannya buruk atau malah sama sekali tidak ada?
Karena itu, Konvensi Bern bukanlah sekadar persetujuan tentang bagaimana hak
cipta harus diatur di antara negara-negara anggotanya melainkan, yang lebih
penting lagi, Konvensi ini menetapkan serangkaian tolok ukur minimum yang harus
dipenuhi oleh undang-undang hak cipta dari masing-masing negara.
Hak
cipta di bawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak membutuhkan pendaftaran
secara eksplisit.
Konvensi
Bern menyatakan bahwa semua karya, kecuali berupa fotografi dan sinematografi,
akan dilindungi sekurang-kurangnya selama 50 tahun setelah sipembuatnya
meninggal dunia, namun masing-masing Negara anggotanya bebas untuk memberikan
perlindungan untuk jangk awaktu yang lebih lama, seperti yang dilakukan
oleh Uni
Eropa dengan Petunjuk
untuk mengharmonisasikan syarat-syarat perlindungan hak cipta tahun
1993. Untuk fotografi, Konvensi Bern menetapkan batas minimum perlindungan
selama 25 tahun sejak tahun foto itu dibuat, dan untuk sinematografi batas
minimumnya adalah 50 tahun setelah pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun
setelah pembuatannya apabila film itu tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50
tahun sejak pembuatannya.
Negara-negara
yang terkena revisi perjanjian yang lebih tua dapat memilih untuk memilih untuk
memberikan, dan untuk jenis-jenis karya tertentu (seperti misalnya piringan
rekaman suara dan gambar hidup) dapat diberikan batas waktu yang lebih singkat.
Meskipun
Konvensi Bern menyatakan bahwa undang-undang hak cipta dari negara yang
melindungi suatu karya tertentu akan diberlakukan, ayat 7.8 menyatakan bahwa
"kecuali undang-undang dari Negara itu menyatakan hal yang berbeda, maka
masa perlindungan itu tidak akan melampaui masa yang ditetapkan di Negara asal
dari karya itu", artinya sipengarang biasanya tidak berhak mendapatkan
perlindungan yang lebih lama di luar negeri daripada di negeri asalnya,
meskipun misalnya undang-undang di luar negeri memberikan perlindungan yang
lebih lama.
Catatan:
• Konvensi
Bern, sebagai suatu konvensi di bidang hak cipta yang paling tua di dunia (1
Januari 1886), Keseluruhannya tercatat 117 negara meratifikasi
• Belanda,
1 November 1912 juga memberlakukan keikut sertaannya pada Konvensi bern
selanjutnya menerapkan pelaksanaan Konvensi Bern di Indonesia
• Beberapa
Negara bekas jajahan atau di bawah administrasi pemerintahan Inggris yang
menandatangani Konvensi Bern 5 Desember 1887 yaitu Australia, Kanada, India,
New Zealand dan Afrika Selatan
• Konvensi
Bern à Law Making Treaty, dengan memberlakukan secara terbuka bagi
semua negara yang belum menjadi anggota
• Keikutsertaan
suatu Negara sebagai anggota Konvensi Bern memuat tiga prinsip dasar, yang
menimbulkan kewajiban Negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan
nasionalnya di bidang hak cipta, yaitu:
a. Prinsip national
treatment
b. Prinsip automatic
protection
c. Prinsip independence
of protection
·
Universal
Copyright Convention (UCC).
Universal
Copyright Convention adalah suatu Konvensi hak cipta yang lahir karena
adanya gagasan dari peserta Konvensi Berne dan Amerika Serikat yang diseponsori
oleh PBB khususnya UNESCO, yaitu untuk menyatukan satu system hokum hak cipta
secara universal. UCC ini dicetuskan dan ditandatangani di Jenewa pada
bulan September 1952, dan telah mengalami revisi di Paris padatahun
1971.Standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan lebih fleksibel
daripada yang ditentukan oleh Berne Convention.
Menurut article
2, UCC menganut prinsip national treatment.Berne
Convention menganut prinsip perlindungan secara otomatis, sebaliknya UCC
mempersyaratkan ketentuan formal untuk adanya perlindungan hukum di bidang hak
cipta. Ketentuan yang monumental dari Konvensi Universal adalah adanya
ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya yang ingin
dilindungi harus mencantumkan tanda C dalam lingkaran ©, disertai nama
penciptanya, dan tahun karya tersebut mulai dipublikasikan. Simbul tersebut
menunjukkan bahwa karya tersebut telah dilindungi dengan hak cipta Negara
asalnya, dan telah terdaftar dibawah perlindungan hak cipta.
Beberapa
konvensi lainnya di bidang hak yang berkaitan dengan hakcipta (neighbouring
right) adalah :
a. Konvensi
Roma 1961 (International Convention for the Protection of the Performers
producers of Phonograms and Broadcasting Organization). Konvensi ini
bertujuan untuk melindungi orang-orang yang berkecimpung dalam kegiatan
pertunjukan, perekaman,dan badan penyiaran.
b. Geneva
Convention for the Protection of Producers of Phonograms Against Unauthorized
Duplication of their Phonograms, tahun 1971.
c. Brussels
Convention Related to the Distribution of Programme carrying Signals
Transmitted by Satellite ,tahun 1974.
Komentar
Posting Komentar